
JAKARTA – Film terbaru garapan Bayu Skak, Cocote Tonggo siap tayang di bioskop mulai 15 Mei mendatang. Mengangkat kisah yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di lingkungan pedesaan Jawa, film ini menyentil kebiasaan masyarakat yang gemar mengomentari kehidupan orang lain, baik secara terang-terangan maupun diam-diam di balik pintu rumah.
Berlatar di Kota Solo, film Cocote Tonggo bercerita tentang pasangan suami istri, Luki dan Murni, yang telah lama menikah namun belum dikaruniai anak. Ironisnya, mereka justru menjalankan usaha toko jamu keluarga yang terkenal karena ramuan kesuburannya. Tekanan sosial dari lingkungan sekitar membuat mereka terpaksa berpura-pura hamil demi menjaga reputasi dan keberlangsungan toko warisan keluarga.
“Syuting film Cocote Tonggo selama 23 hari, kami maksimalkan syuting di sana. Enaknya satu rumah ke rumah lainnya. Ketika keluar dari Solo, kami ada adegan travelling. Tantangan upaya untuk berkarya keluar dari zona nyaman. Apalagi karya sebelumnya Jawa Timuran. Ini Mataraman,” ungkap sang sutradara, Bayu Skak, saat ditemui di Epicentrum XXI, Jakarta pada Jumat, 9 Mei.
Film ini tidak hanya menandai eksplorasi Bayu Skak dalam wilayah budaya Jawa Mataraman, tetapi juga menjadi refleksi terhadap tekanan sosial yang sering kali menghantui pasangan suami istri, terutama yang belum memiliki keturunan. Dalam kehidupan nyata pun, Bayu mengaku mengalami hal serupa.
“Sama seperti di film, saya pribadi selalu dibacotin, relate kapan nikah? Ini next level kapan punya anak. Semoga ke depannya ada intisari, kita hidup pasti selalu ada bacotan tapi jangan sampai down,” ujarnya.
Skenario film ini ditulis oleh Nona Ica, yang menggali inspirasi dari pengalaman pribadi maupun cerita orang di sekitarnya. Ia menggarisbawahi bahwa tekanan sosial dalam lingkungan yang katanya ‘akrab’ justru bisa menjadi beban psikologis, khususnya bagi perempuan.
BACA JUGA:
“Dari pengalaman atau enggak, pasti ada dari lingkungan sekitar. Sebenernya semua pernah dapat komen negatif sama tetangga atau lingkungan dekat. Desa memang ada gotong royong, kedekatan erat, tapi jadi negatif terutama perempuan, ada tekanan sosial lebih dan ini dirasain banyak orang,” kata Nona Ica.
Ia menambahkan, komentar-komentar sosial seperti pertanyaan “kapan nikah?” atau “kapan punya anak?” seolah menjadi lingkaran tak berujung yang membebani mental.
“Kalau seumuran kita kapan nikah, nanti ada lagi kapan hamil. Pertanyaan itu enggak selesai kalo kita turutin. Tapi itu bisa jadi berdampak buruk, Bu Pur jadi orang marah-marah, enggak dengerin anaknya. Film ini membuat kita saling sadar,” jelasnya.
Salah satu karakter yang mencuri perhatian adalah Bu Pur, diperankan oleh Asri Welas. Sosok ibu julid yang kerap berkomentar dengan nada menyakitkan terhadap kehidupan tokoh utama ini ternyata justru menjadi sarana refleksi bagi sang aktris.
“Baik tidak baik hidup kita pasti selalu dikomentari. Mau itu kabar baik atau tidak baik, pasti ada yang enggak suka dan suka. Saya belajar film ini menerima kondisi saat berkomentar,” kata Asri Welas.
Menurutnya, kritik sosial yang diangkat dalam Cocote Tonggo tidak hanya relevan untuk kehidupan di desa, tetapi juga di dunia digital saat ini.
“Film ini sesuai dengan tetangga apapun dunia digital. Mau selebriti atau enggak, normal menurut orang lain dan menurut kita itu beda banget. Jadi komentar apapun itu, mereka enggak hidup di jalan kita,” bebernya.
Menariknya, karakter Bu Pur yang galak dan penuh prasangka ternyata memiliki latar belakang masa lalu yang kelam. Hal ini menjadi salah satu pesan penting yang ingin disampaikan film ini bahwa setiap orang membawa luka masing-masing.
“Karakter aku sejulit ini karena masa lalunya, pasti ada masa lalunya parah. Jadi mau di posisi kita dimana itu tergantung kita sendiri. Apapun masalah kita jadi pembelajaran orang lain,” ucap Asri.
Meski terbiasa tampil sebagai sosok ceria, Asri mengaku mengalami tantangan tersendiri dalam memerankan Bu Pur, terutama karena penggunaan Bahasa Jawa Mataraman yang sangat khas dan memiliki banyak lapisan makna.
“Saya enggak pernah julit. Saya ngomong apapun takut, saya enggak pernah sejudes itu sebenarnya. Kesulitannya dalam berakting, bahasa Jawa. Tapi kita punya coach ada di Solo. Aku kadang masih suka salah, Jawa beda-beda banget ada timur, barat, tengah dan lain-lain,” ceritanya.
“Dia kenapa kayak gitu, karena ada sejarah di belakang hidupnya yang kita enggak tahu. Saya nonton film ini, semakin enggak mau julitin hidup orang lain.” imbuhnya.
Film Cocote Tonggo diproduksi oleh Bayu Skak bersama Tobali Film, serta menggandeng lima produser, yakni Henny Myranda, Ricky R Setiyawan, Andi Pravinda Saliman, Raden Deny Yulianrto, dan Ferry Fernandez.
Film ini menjadi karya keenam dari Bayu Skak sebagai sutradara, dan turut dibintangi oleh Denis Adishwara, Ayushita, Sundari Soekotjo, Brilliana Arfira, Ika Diharjo, dan banyak lainnya.
Dengan latar budaya Jawa Mataraman yang kental serta dialog penuh makna dalam Bahasa Jawa, film ocote Tonggo tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga menyentil kesadaran sosial penontonnya. Film ini seolah menjadi pengingat bahwa komentar sekecil apapun bisa berdampak besar pada hidup seseorang dan empati adalah kunci untuk hidup berdampingan dengan lebih bijak.