Jalan Hidup Kartini: Tokoh Emansipasi Wanita yang Gagal Masuk Sekolah Kedokteran

Jalan Hidup Kartini: Tokoh Emansipasi Wanita yang Gagal Masuk Sekolah Kedokteran


Tiga serangkai kakak beradik: Kartini, Kardinah, Roekmini. (Wikimedia Commons)

JAKARTA – Raden Ajeng (R.A) Kartini dikenal sebagai tokoh besar emansipasi kaum wanita Indonesia. Ia berani menerobos kekakuan budaya Jawa dalam memandang wanita. Surat-suratnya menginspirasi banyak pihak. Belanda pun bangga padanya.

Kartini dianggap sebagai ajian penting berhasilnya politik etis. Kondisi itu membuat sahabat Belanda Kartini mencarikan beasiswa untuknya. Kartini pun sempat berpeluang mengikuti pendidikan kedokteran di Batavia. Kartini kala itu selangkah menuju STOVIA.

Hidup sebagai kaum bumiputra di era penjajahan kerap sengsara. Penjajahan membuat kaum bumiputra sengaja dibiarkan bodoh. Derajat dan harga dirinya diinjak-injak. Semuanya karena kaum bumiputra kebanyakan tak memiliki akses meraih pendidikan.

Sekolah kala itu bak barang mahal. Mereka yang dapat mengakses pendidikan hanya kalangan terbatas, didominasi oleh kaum laki-laki saja. Mereka yang terlahir sebagai wanita hanya dapat gigit jari. Hidup kaum wanita sering kali digambarkan terbelakang – sekalipun dari keluarga priayi.

Mereka hanya dianggap mahir urusan dapur dan kasus. Semuanya berubah kala R.A. Kartini Hadir. Wanita kelahiran Jepara, 21 April 1879 itu mampu memanfaatkan statusnya sebagai anak dari Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat.

Suami-istri sahabat Kartini, Jacques Henrij Abendanon dan Rosa Abendanon. (Wikimedia Commons)

Status itu membuatnya mampu merasakan pendidikan ala Eropa. Alhasil, pikiran Kartini terbuka. Kepekaannya apalagi. Ia ingin mendedikasikan kecerdasannya untuk hal yang lebih berguna. Ia mulai mengkritik satu demi satu budaya feodal Jawa.

Ia juga mengemukakan keanehan kala orang Jawa melihat ada wanita yang bisa sekolah. Pikiran-pikiran itu dituangkan Kartini dalam surat-suratnya ke sahabat Belanda – utamanya suami-istri Jacques Henrij Abendanon dan Rosa Abendanon.

Belakangan kehidupan Kartini menempuh pendidikan lebih lanjut terganjal. Ayah Kartini mulai memperlakukan Kartini seperti wanita Jawa umumnya. Ia hanya dibolehkan menempuh pendidikan ke Europeesche Lagere School (ELS). Ia tak dibiarkan lanjut pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi.

“Pengakuan resmi dari Pemerintah itu sesuai dengan sikap progresif Bupati Sosroningrat. Ia memang tak pernah mengadakan diskriminasi antara anak-anak Raden Ayu dan anak-anak Mas Ajeng Ngasirah. Diskriminasi hanya dilakukan antara anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan, dalam hal kebebasan. Anak-anak laki-laki semua, setelah lulus ELS, dimasukkan Hoogere Burgerschool (HBS) di Semarang.”

“Ada pula yang kemudian meneruskan pelajarannya ke negeri Belanda. Sedang yang perempuan, baik Soelastri maupun Tiga Serangkai: Kartini-Roekmini-Kardinah — semua setelah selesai ELS, langsung, sesuai dengan adat, dimasukkan dalam pingitan, dan tidak boleh melanjutkan pelajaran di HBS,” ungkap Wardiman Djojonegoro dalam buku Kartini: Hidupnya, Renungannya, dan Cita-citanya (2024).

Bidik STOVIA

Jalan Kartini menempuh pendidikan lanjutan terganggu. Namun, Kartini tak lantas menyerah. Keinginan kuat Kartini menempuh pendidikan mulai dilirik sahabatnya Jacqures Henrij Abendanon. Ia yang notabene salah satu penggerak politik etis (politik balas budi) Hindia Belanda melihat niatan kuat Kartini.

Abendanon memahami Kartini sendiri bimbang dengan cita-citanya di masa depan. Suatu hari ia ingin jadi guru. Hari lainnya ingin jadi dokter. Namun, Kartini sempat menanyakannya terkait kemungkinan dirinya masuk sekolah kedokteran Bumiputra di Batavia, STOVIA ke Abendanon.

Pria yang jadi Direktur Pendidikan Etis Hindia Belanda era 1900-1905 itu terus mencari cara supaya Kartini bisa jadi dokter wanita bumiputra pertama jebolan STOVIA. Ia mencoba melobi Gubernur Jenderal Hindia Belanda demi Kartini bisa melanjutkan sekolah.

Ia menganggap kesuksesan Kartini punya makna penting bagi Belanda. Sebab, Hindia Belanda tak lagi dikenal dunia sebagai negeri terbelakang. Abendanon sudah mengusahakan seluruh jalan supaya Kartini bisa bersekolah. Ia mencoba menyiapkan segalanya dan berhasil.

Masalah muncul. Ayah Kartini kurang setuju dengan pendidikan yang akan ditempuh oleh anaknya. Mimpi Kartini bisa mengenyam pendidikan di STOVIA yang melahirkan tokoh bangsa besar seperti Tjipto Mangoenkoesoemo tak terjadi.

Kartini sempat pula mendapatkan beasiswa untuk belajar ke negeri Belanda. Namun, kesempatan itu lagi-lagi tak diambilnya. Belakangan Kartini memilih menikah dan tak lama kemudian meninggal dunia pada 17 September 1904.

“Perjalanan ke Batavia membuka harapan Kartini. Dia melihat kesempatan meneruskan pendidikan lebih tinggi daripada ELS. Kartini mulai bertanya-tanya kepada Abendanon soal kemungkinan masuk sekolah kedokteran, yang ketika itu hanya diisi laki-laki. Abendanon menyatakan sanggup membuka jalan.”

“Kartini juga mendekati ayahnya untuk meminta restu. Walau cukup progresif, Sosroningrat masih berat melepas putrinya. Ia menyatakan jalan perempuan Jawa menuju harapan itu penuh rintangan. Kata dia, baru 20 tahun lagi perempuan bumiputra bisa masuk sekolah kedokteran,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Hidup Padam Asa Sang Putri (2013).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *