
JAKARTA – Kardinal Ignatius Suharyo tak bisa menyembunyikan keprihatinan. Dalam dialognya dengan Dubes Indonesia untuk Vatican, Michael Trias Kuncahyono seperti ditonton pada kanal youtube trias kbrivatikan, Kamis, 15 Mei, ia menceritakan momen mengharukan saat berkunjung ke seorang Uskup di Italia.
“Beliau memberi sakramen Krisma. Tapi anak-anak yang mau menerima Krisma… tidak tahu cara membuat tanda salib,” ujar Kardinal.
Sekularisme Eropa membuat iman perlahan memudar. Agama dianggap tak relevan. Pendidikan iman di sekolah ditiadakan. Bahkan di rumah, orang tua pun tak peduli.
“Itu baru Italia. Belum Belanda, belum Prancis,” kata Kardinal.
SEE ALSO:
Kekhawatiran ini mencuat dalam Kongregasi Umum sebelum Konklaf. Para kardinal mendiskusikan masa depan Gereja. Haruskah kembali seperti Bunda Maria—lembut, merawat, dan hadir penuh kasih?
“Dunia ke depan akan ditentukan oleh dua hal,” kata Kardinal. “Pertama, manusia yang martabatnya dikalahkan teknologi. Kedua, Tuhan yang dilupakan.”
Bagi Kardinal, Gereja masa depan tak bisa lagi hanya bicara doktrin. Ia harus hadir nyata. Menjawab keresahan zaman. Dan itulah mengapa, dalam konklaf terakhir, suara-suara menginginkan Paus yang “pastoral”, bukan sekadar teolog.