
JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 31 Mei 2019, Prabowo Subianto menegaskan rezim pemerintah Joko Widodo (Jokowi) sebagai Neo Orde Baru (Orba). Penyataan itu diungkap Prabowo dalam gugatannya menggugat hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, Pilpres 2019 jadi ajang pertarungan kembali antara dua sosok besar: Jokowi dan Prabowo. Keduanya bersaing ketat untuk memperoleh suara dari rakyat Indonesia. Sekalipun lagi-lagi Jokowi mengalahkan Prabowo.
Kontestasi politik Pilpres 2019 penuh dinamika. Rakyat Indonesia sudah dapat menebak sosok capres yang akan bersaing. Sosok itu adalah Jokowi dan Prabowo. Keduanya kembali berjumpa kala terakhir bersaing pada Pilpres 2014.
Jokowi yang sekarang jelas lebih kuat karena sudah jadi bagian pemerintahan. Namun, Prabowo tak gentar. Masing-masing kandidat lalu mencoba mencari pendamping yang tepat. Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin. Prabowo menggandeng Sandiaga Uno.
Mesin-mesin partai dan simpatisan keduanya mulai berkampanye. Segala macam janji politik ditebar. Mereka mengklaim masing-masing junjungannya adalah pemimpin yang terbaik. Kadang juga kampanye hitam merasuki kontestasi politik. Saling menjelekkan antara kubu satu dan lainnya bermunculan.

Jokowi yakin menang. Begitu pula Prabowo. Pilpres pun ditentukan pada 17 April 2019. Hari pencoblosan itu membuat kedua kandidat tegang. Lembaga survei mulai melakukan hitungan cepat. Hasilnya Jokowi-Ma’ruf yang mendominasi suara.
Jokowi-Ma’ruf unggul 55 persen. Sisanya Prabowo-Sandi 45 persen. Hasil itu menghebohkan seisi Nusantara. Kubu Jokowi mulai merayakan. Kubu Prabowo justru segera tak percaya dengan hasil survei. Mereka menuduh lembaga survei bisa saja memanipulasi suara.
Kondisi itu diamini pula oleh Prabowo. Ia mengklaim sendiri bahwa ia pemenang Pilpres 2019. Prabowo tak lupa melakukan selebrasi sujud syukur karena menang versi perhitungan langsung kubunya di lapangan.
“Saya sebagai Muslim ingin menutup dengan mengumandangkan takbir dan sesudah itu sujud syukur. Semua kawan ikut membela kita, yang Katolik, Protestan, Hindu, Budha, kami mayoritas ingin mengagungkan Allah SWT. Berdasarkan hasil real count kita sudah menang 62 persen,” kata Prabowo sebagaimana dikutip laman CNN, 17 April 2019.
Klaim itu nyatanya membawa nestapa. Hasil hitungan resmi dari KPK tak jauh dari yang diumumkan mayoritas lembaga survei dalam hitungan cepat. Jokowi-Ma’ruf meraih suara sebanyak 55,40 persen. Sedang Prabowo hanya 44,50 persen.
BACA JUGA:
Kubu Prabowo-Sandi pun tak terima. Mereka membawa sengketa itu ke MK. Narasi yang menarik dari isi gugatan yang menyatakan kekalahan Prabowo karena kecurangan kubu Jokowi-Ma’ruf. Prabowo dalam gugatannya menegaskan bahwa Jokowi telah menggunakan cara-cara Orba yang licik supaya menang Pilpres pada 31 Mei 2019.
Prabowo pun mengungkap bahwa rezim pemerintahan Jokowi sebagai Neo Orba — Orba versi ganti baju baru. Kondisi itu karena Jokowi dianggap melakukan penyalagunaan APBN, ketidaknetralan aparat negara, penyalagunaan birokrasi, pembatasan pers, hingga penyalagunaan hukum.
Cara-cara seperti itu dianggapnya sudah menyerupai pemerintahan Soeharto dan Orba. Isi gugatan itu jadi polemik. Kubu Jokowi pun ramai-ramai menolak klaim Prabowo.
“Berkaitan dengan pemerintahan yang otoriter dan Orde Baru itu, melihat cara memerintah Presiden Joko Widodo, maka sudah muncul pandangan bahwa pemerintahannya adalah Neo-Orba, dengan korupsi yang masih masif dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil sebagai ciri kepadanya,” demikian gugatan Prabowo yang kuasanya diberikan kepada Bambang Widjojanto dan kawan-kawan sebagaimana dikutip detikcom, 31 Mei 2019.