
BANDUNG – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyampaikan keprihatinannya atas tragedi longsor tambang di Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, yang merenggut belasan nyawa.
Walhi menilai kejadian ini menjadi bukti lemahnya tata kelola pertambangan dan pengawasan pemerintah di wilayah Jawa Barat.
Direktur Eksekutif Walhi Jabar Wahyudin Iwang mengatakan, insiden tersebut tidak berdiri sendiri dan mencerminkan kegagalan sistemik dalam pengelolaan tambang.
“Gunung Kuda bukan satu-satunya insiden yang menelan korban jiwa. Ini menunjukkan praktik pertambangan di Jawa Barat masih jauh dari profesional dan mengabaikan aspek keselamatan,” ujar Iwang saat dihubungi di Bandung, Antara, Minggu, 1 Juni.
Menurutnya, banyak pelaku usaha tambang yang memperlakukan dokumen perizinan hanya sebagai formalitas untuk memperoleh legalitas, bukan sebagai pedoman operasional yang wajib dipatuhi.
“Padahal, dokumen perizinan seharusnya mencakup AMDAL, RKL, dan RPL yang wajib dijalankan dan dilaporkan secara berkala. Tapi praktiknya banyak yang tidak konsisten antara dokumen dan kenyataan di lapangan,” kata dia.
Iwang juga menilai pengawasan pemerintah sangat minim, bahkan sering kali baru bereaksi setelah terjadi kecelakaan atau korban jiwa.
“Apakah pemerintah benar-benar mengecek kesesuaian dokumen dengan praktik lapangan? Apakah laporan semesteran benar-benar diawasi? Yang terjadi justru kelabakan setelah ada korban,” ungkapnya.
Terkait tambang di Gunung Kuda, Iwang mengonfirmasi bahwa lokasi tersebut memiliki izin, namun ia menekankan bahwa legalitas bukan jaminan operasional sesuai aturan.
“Misalnya dalam dokumen disebut alat A, delapan jam kerja. Tapi di lapangan pakai alat B dan beroperasi 24 jam nonstop. Siapa yang mengawasi ini? Seharusnya pemerintah,” tuturnya.
Lebih lanjut, Walhi Jabar juga menyoroti peningkatan aktivitas tambang ilegal di wilayah selatan Jawa Barat, seperti di Garut, Sukabumi, Cianjur, dan Pangandaran, pasca terbitnya aturan baru Kementerian ESDM tentang Wilayah Pertambangan dan WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat).
Iwang mengingatkan bahwa kawasan Gunung Kuda secara tata ruang memang masuk zona pasir dan batu (sirtu), namun secara ekologis juga berfungsi sebagai kawasan resapan dan penyimpan cadangan air bagi masyarakat.
“Jika terus dieksploitasi, maka fungsi ekologis kawasan ini akan rusak. Kami sudah lama merekomendasikan agar tambang di Gunung Kuda dihentikan dan dilakukan reforestasi,” kata dia.
Ia menegaskan, tanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa tidak hanya berada di tangan perusahaan tambang, melainkan juga pemerintah sebagai pemberi izin dan pihak yang lalai dalam pengawasan.
BACA JUGA:
“Regulasi kita sebenarnya cukup baik. Ada TJSL, kewajiban laporan, dan sanksi bagi pelanggar. Tapi semuanya hanya di atas kertas. Penegakan hukumnya tidak jalan,” tegasnya.
Karena itu, Walhi Jabar mendorong adanya reformasi menyeluruh terhadap tata kelola pertambangan, termasuk evaluasi izin yang telah dikeluarkan, peningkatan kapasitas pengawasan pemerintah, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan lingkungan hidup.